Sabtu, 12 Februari 2011

Kirap Gong Perdamaian Dunia dari Desa Plajan ke Ambon

Kesenian Emprak

Ditulis Oleh Syaiful Mustaqim
12-08-2009,
Kesenian Emprak yang populer di Jepara sekitar tahun 1980-an, kini sudah mulai hilang, tergantikan pergelaran musik dangdut, campursari, hingga pop, yang semakin merangsek ke desa-desa.
Emprak, merupakan kesenian tradisional yang dipopulerkan oleh Kyai Derpo tahun 1927 silam. Kesenian yang berasal dari Pleret (Mejing), Gamping, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta ini merupakan sarana untuk menyiarkan Islam dengan pembacaan tarikh (sejarah) Nabi. Kata emprak, berasal dari bahasa Arab imro’a yang berarti ajaklah: mengajak orang untuk menuju kebenaran ajaran Islam pada saat itu.

Di kabupaten Jepara, kesenian emprak sangat populer sekitar tahun 80-an. Hampir setiap hajatan (khitan maupun pernikahan) kesenian yang biasanya dipentaskan selama 8 jam (21.00-05.00) ini menjadi alternatif tontonan (hiburan) warga. Pada saat itu juga kesenian ini juga sering manggung--keliling desa satu ke desa lain.

Biasanya, kesenian yang dimainkan dengan pelbagai alat musik (kendang, kenting, kentung, ketuk, gong, kentongan, dan rebana) ini merupakan kolaborasi antara musik, cerita banyolan, tari, dan lantunan shalawat. Sesekali cerita berupa sejarah Nabi dengan pembacaan al-Barjanzi bisa juga sejarah perkembangan kota Jepara. Adapun bagi pemain berkostum ala pegunungan dan tidak ketinggalan tetap memakai kupluk (kopyah) bayi.

Memprihatinkan
Tahun 80-an silam barangkali sangat berbeda dengan kondisi saat ini. Apa sebab? Dulunya, sentra kesenian emprak berpusat di beberapa kecamatan: mulai Bangsri, Mlonggo, Keling, Pakis Aji dan Kembang. Namun saat ini eksistensinya telah dimakan oleh kejamnya zaman. Sebab, kondisinya kini semakin memprihatinkan. Komunitas Emprak Sidomukti (asal Kepuk, Bangsri) pimpinan Kasturi dan kawan-kawan saja yang masih bertahan.

Kondisi itu, tentunya dipengaruhi oleh maraknya musik beraliran kontemporer: dangdut, pop, rock dan jazz. Sehingga, emprak barangkali dianggap pertunjukan jadul yang tidak layak lagi dipertontonkan untuk sekarang ini.

Dalam rangka menjaga eksistensi warisan nenek moyang itu, ada ikhitar baik yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) kabupaten Jepara bidang kebudayaan yakni kesenian emprak akan dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada (28/07) mendatang. Mereka akan menjadi duta budaya asal Jepara. Sehingga secara tidak langsung kesenian emprak masih menjadi salah satu ikon budaya resmi asal kota Jepara (Radar Kudus, 05/04).

Diakui atau tidak: kesenian yang masih digeluti oleh Kasturi dan kawan-kawan ini sebenarnya dipengaruhi oleh minimnya regenerasi. Tentunya penerus emprak pasca Kasturi dkk belum ditemukan. Sehingga mudahnya kesenian ini akan menanti ajalnya jika tidak segera dicarikan generasi-generasi baru.

Masalah regenerasi barangkali bisa diatasi dengan dipelajari oleh semua kalangan utamanya kalangan yang berkecimpung dalam bidang kesenian. Emprak tentunya bisa masuk dan dipelajari maupun dipentaskan oleh pelajar maupun mahasiswa. Mudahnya, agar kesenian ini tetap eksis penggiat seni di sekolah, kampus maupun komunitas yang mendalami kesenian sudah saatnya menggelutinya. Jika hal itu dilakukan, alhasil emprak akan tetap lestari.

Penulis pun sepakat dengan apa yang akan dilakukan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kabupaten Jepara bekerjasama dengan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Jepara. Kedua lembaga ini berencana akan memasukkan kurikulum kesenian tradisional di bangku sekolah: salah satunya pendalaman materi tentang kesenian emprak. Selain itu: materi tentang wayang klitik dan ludruk (Radar Kudus, 05/04).

Perlu Diselamatkan
“Mustahil,” hal itu yang bisa saya katakan, barangkali saat ini tidak akan ditemukan warga Jepara rela nanggap (baca: diundang untuk pentas) emprak setiap kali ada hajatan (khitan maupun pernikahan) digelar. Sebaliknya, mereka akan lebih mantap manakala mendatangkan orkes dangdut dengan goyangan-goyangan yang asoi dan aduhai. Atau, band-band lokal yang siap menghibur tuan rumah.

Tanpa undangan resmi: kedua tontonan tersebut seringkali dibanjiri oleh fans (penggemar) beratnya. Meski terkadang ajang adu jotos kerap mewarnai pertunjukan itu yang disebabkan dendam sebelumnya ataupun akibat minum-minuman keras sehingga: senggol dikit langsung jotos.

Tentunya hal itu akan berbalik 360 derajat manakala emprak dipertontonkan. Apa sebab? Meski kesenian ini barangkali tidak akan mengundang kejahatan, namun jika dipertontonkan barangkali akan sepi oleh pengunjung.

Nah, kesenian ini sudah saatnya untuk diselamatkan sebelum ajalnya tiba. Pemerintah daerah semestinya sering mempertontonkan emprak pada acara resmi yang diselenggarakan oleh kabupaten. Semisal: peringatan hari jadi kota Jepara, hari Kartini dan acara resmi yang lain.

Selain itu, Festival Emprak juga layak diadakan. Hal ini tentunya untuk memikat generasi muda untuk menggeluti kesenian yang hampir punah ini. Para peminat dan pecinta seni seharusnya juga memperhatikan kesenian ini untuk dipelajari dan dilestarikan keberadaannya.

Emprak, merupakan kesenian tradisional islami yang kudu diselamatkan. Islami dalam arti pembacaan sejarah Nabi diiringi dengan alunan musik, tari, juga cerita banyolan yang sering menghiasi pagelaran kesenian ini. Upaya penyelamatan brilian oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang akan menggelar pentas emprak di TMII Juli mendatang tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Akan tetapi, juga diperlukan agenda brilian yang lain.

Pun demikian, rintisan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga yang berencana akan memasukkan materi kesenian tradisonal (emprak: salah satunya) dalam muatan lokal di bangku sekolah bukan hanya sekadar wacana akan tetapi perlu direalisasikan secepatnya. Sehingga, kesenian ini bisa menuai kejayaan kembali laiknya tahun 80-an silam. Semoga!

Kesenian Ketoprak




Ketoprak adalah kesenian rakyat yang memadukan seni drama, musik, dan sastra sekaligus. Kesenian ini tumbuh subur di Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta sebagian daerah Jawa Timur.

Kesenian ini bermula dari permainan rakyat menabuh lesung pada bulan purnama yang disebut gejogan. Awalnya, tabuhan lesung ini menjadi pengiring nyanyian dolanan, yang kemudian dimasukkan unsur cerita ke dalamnya sehingga membentuk suatu teater sederhana. Keanggunan sastra terlihat pada penggunaan bahasa yang indah dan sastrawi.

Ketoprak semakin menemukan bentuknya dengan rangka penopang berupa cerita Babad Tanah Jawa. Cerita tersebut sangat menarik. Apalagi, diperkaya dengan cerita-cerita legenda bahkan mengadaptasi cerita dari luar negeri. Meskipun begitu, ketoprak tidak pernah memainkan lakon yang diambil dari repertoar Mahabharata maupun Ramayana. Karena Jika memainkan keduanya bukan disebut Ketoprak tetapi Wayang wong (orang)

Beberapa lakon ketoprak yang terkenal misalnya: Darma-Darmi, Kendana-Gendini, Aryo Penangsang Mati Ngadeg, Warok Suramenggala, Abdul Semararupi, Panji Asmarabangun, Klana Sewandana, Ande-ande lumut, Anglingdarma, Rara Mendut-Pranacitra, Damar Wulan, dan sebagainya.

Mengungkap Kesenian Wayang Kulit


WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang artinya menuju kepada yang maha esa, . Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.


Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur.

Pembuatan

Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses memjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda. Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.

Dan di Desa Plajan sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah ini.

Kesenian Jaran Kepang


Kesenian jaran kepang yang kini sudah menjadi bagian kegiatan berkesenian masyarakat Jawa Timur, dulu kesenian ini dilakukan tidak sebatas bentuk pengisi acara hiburan semata, tetapi jaran kepang memiliki tujuan sebagai acara ritual penolak bala.

‘Bala’ diartikan sebagai hal yang negative, bisa diartikan sebagai penyakit, atau sesuatu yang ditimbulkan karena pengaruh-pengaruh yang berasal dari mahluk halus.

Jaran kepang biasanya sebagai kelengkapan pengiring “Reog” bersama tokoh lain seperti ‘macan putih’ dan ‘jatilan’. Namun dalam perkembangannya. Jaran kepang saat ini membentuk kelompok seni tersendiri.

Seperti ‘Jaranan’ dan ‘Kuda Lumping’ Di beberapa daerah kesenian jaran kepang digunakan sebagai pengiring sesaji dalam tradisi upacara seperti ‘metri bumi’ atau penghormatan pada leluhur cikal bakal berdirinya suatu wilayah atau ‘bedah krawang‘.

Jaran kepang biasanya juga ada yang menyebutnya dengan sebutan kuda lumping. Arti jaran kepang kira-kira demikian. Jaran artinya kuda.

Dan kepang artinya ikatan bagian belakang, biasanya mengenai rambut. Jadi makna jaran kepang adalah kuda yang rambutnya diikat di belakang. Ikatan rambut kuda sebenarnya adalah juntaian rambut yang ada di punggung leher kuda.

Dalam simbol yang ada pada perangkat alat yang dijadikan sebagai sosok kuda (terbuat dari anyaman bambu). Rambut tersebut terjalin atau terikat atau terkepang pada bagian punggung leher kuda dari atas hingga dekat pelana. Seperti gaya rambut ‘punk rock’.

Atau jambul pada perisai kepala pasukan romawi. Semakin lebat dan panjang. Akan semakin nampak sangar dan keren. Rambut biasanya terbuat dari ijuk kelapa. Berwarna hitam kasar namun lentur. Bila menggunakan bulu kuda asli akan lebih memberi nilai. Seakan ada ‘roh’ nya.

Jaran kepang adalah suatu bentuk tarian penunggang kuda. Namun dalam hal ini kuda yang digunakan bukanlah kuda sesungguhnya.

Sebagai gantinya untuk visualisasi, sosok kuda atau badan kuda terbuat dari bilahan anyaman bambu yang dirangkai sedemikian rupa. Dengan penambahan asesori serta pewarnaan sehingga bentuknya menyerupai kuda.

Bagian yang tidak boleh diabaikan adalah persiapan sebelum pagelaran diadakan. Penyelenggara terlebih dahulu berkomunikasi dengan kepala kelompok paguyuban jaran kepang.

Mengenai apa saja yang harus dipenuhi Kepala kelompok paguyuban akan mempelajari sejenak situasi penyelenggara. Kemudian memberi persyaratan yang harus dipersiapkan dan disediakan.

Dupa atau kemenyan adalah benda yang selalu tidak pernah ketinggalan. Keharusan memenuhi persayaratan adalah syarat utama untuk menghindari dari hal-hal yang tidak dikehendaki selama penyelenggaraan pagelaran berlangsung.

‘Trans’ atau kesurupan adalah hal yang selalu terjadi selama pagelaran berlangsung. Pemain yang kesurupan tidak satu, dua.

Biasanya nyaris semua pemain mengalami kesurupan. Kesurupan terjadi setelah formasi tarian penunggang kuda yang pada awalnya lembut mengikuti irama musik pengiring.

Kemudian berubah menjadi liar diawali suara lecutan ‘pecut’ atau cemeti yang meledak-ledak di udara. Pemain menari tidak lagi dalam formasi kelompok.

Masing-masing menari dengan liar sekehendak hati. Lantunan tabuhan gending dan lagu memberi suasana magis ditambah lagi tebaran aroma kemenyan yang menyeruak di sekitarnya.

sumber: http://www.liburanseru.com/

Mengenal Seni Karawitan

Asal Muasal Gamelan dan Karawitan

Perangkat musik gamelan lengkap yang kita ketahui sekarang pada mulanya hanya diawali dengan satu alat bunyi saja yaitu Gong. Kemudian pada perkembangannya, ada penambahan sejenis gong kecil yang disebut kempul namun jumlahnya masih terbatas lalu seiring dengan kebutuhan musikalitas dari jaman ke jaman yang berkembang, barulah ada penambahan alat-alat lainnya. Seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional gamelan disebut Seni Karawitan.

Asal kata Karawitan itu sendiri berasal dari bahasa sansekerta, yakni rawit, yang mempunyai arti keharmonisan, elegan dan kehalusan. Namun menurut pendapat yang lain, karawitan berasal dari kata pangrawit yang berarti orang atau subjek yang memiliki perasaan harmonis dan halus. Adapula yang berpendapat bahwa karawitan itu berasal dari kata ngerawit yang dalam bahasa Jawa artinya sangat rumit. Jadi memainkan karawitan itu tidak hanya sekedar menghasilkan bunyi-bunyian tapi memang harus memaknainya secara mendalam melalui gendhing (lagu-lagu) yang dibawakan dalam seni karawitan karena gendhing-gendhing tersebut berpengaruh pada sikap kehidupan manusia, misalnya ada nama gendhing yang merujuk pada keselamatan dan permintaan. Semua gendhing yg diciptakan itu juga berkaitan dengan segala kehidupan yang ada di dunia ini.

Secara mudah dipahami, Karawitan adalah bentuk orkestra dari perangkat musik gamelan.

Pembagian Tugas di dalam Seni Karawitan

Di dalam seni karawitan, pembagian dilakukan atas dasar cara pandang yg dikategorikan menjadi instrumen depan (ricikan ngajeng) dan instrumen belakang (ricikan wingking). Instrumen depan tidak berarti hanya berada pada posisi depan saja, namun memiliki keunggulan-keunggulan intelektual, karisma, kerumitan dan kemampuan sehingga biasanya instrumen yang terletak di depan itu dimainkan oleh mereka yang tingkat kemampuan dan kompetensinya tinggi, menguasai kerumitan garap (penguasaan alat) sehingga mereka berhak dan layak memainkan instrumen-instrumen di depan. Instrumen depan itu diantaranya gender, rebab, gambang dan bonang. Sedangkan instrumen belakang dalam pengertian kemampuan masih sedehana dan belum bisa menyamai kerumitan permainan instrumen depan.

Walaupun demikian, pemain yang mendapatkan peran berada pada posisi instrument belakang tidak berarti ia kurang pandai karena di dalam seni karawitan, semua pemain harus mampu memainkan alat gamelan yang berada di depan maupun belakang. Perbedaan kemampuan terletak pada tabuhannya, pemain pemula biasanya masih menggunakan tabuh satu sedangkan pemain yang sudah mahir sudah bisa memainkan alat dengan tabuh dua.

Jika anggota pemain seni karawitan terdiri dari anggota masyarakat yang memiliki strata sosial berbeda, bukan berarti yang berhak memainkan instrumen depan adalah mereka yang memiliki strata sosial lebih tinggi karena semua ditentukan berdasarkan kemahiran memainkan alat musik gamelan itu. Siapapun yang berada pada posisi instrumen depan harus dipatuhi oleh instrumen belakang.

Karawitan dan Konsep Kebersamaan

Dalam seni karawitan tercipta kondisi kegotongroyongan, saling menunggu, saling menghargai antara instrumen satu dengan yang lainnya. Seperti contohnya, jika Gong yang dipukul agak terlambat dari ketukannya, maka pemain yang memegang instrumen lainnya akan tetap menunggu sehingga pengrawit yang bertanggung jawab atas instrumen Gong memiliki tanggung jawab yang besar untuk tidak melakukan kesalahan supaya tidak membuat pengrawit yang lain menunggu.

Manajemen kebersamaan dalam seni karawitan itu terjadi secara otomatis karena adanya pembagian peran sesuai dengan instrument depan dan belakang seperti yang dijelaskan diatas. Garap satu dengan yang lain dilakukan pula harus secara bersamaan, tidak bisa mandiri atau berdiri sendiri kecuali ketika memang disengajakan adanya ilutrasi tunggal seperti menyuling tetapi konsep musikalitasnya tetap harus bersama-sama supaya dapat menghasilkan suara ‘stereo’ yang indah antara instrumen satu dengan lainnya.

Di dalam seni karawitan itu juga ada pembagian-pembagian wilayah kerja yakni dari yang memimpin lagu, yg memimpin irama ada, kemudian ada yang menjadi pelaksana irama, semuanya secara otomatis bekerja dengan kerjasama yang baik. Karakteristik para pengrawit itu sendiri biasanya agak berbeda dengan karakteristik pemain teater atau penari karena bagi pengrawit yg sudah menep (memiliki pengendapan rasa), mereka biasanya tidak bisa hidup sendiri (tidak bersikap individual).


Karawitan dan Latihan Kepemimpinan

Pemimpin bunyi di dalam seni karawitan dipegang oleh seorang pengendang. Sebagai seorang pemimpin bunyi, ia harus menyadari perannya sebagai pemimpin yaitu memahami pemegang bunyi yang lain, tidak diktator dalam artian tidak bisa seenaknya membuat tempo cepat atau lambat sesuai kehendaknya seperti posisi konduktor dalam orkestra. Demikian pula untuk pemangku lagu atau pendukung irama seperti saron, demung dan instrument-instrumen lain yang sifatnya mendukung maksud dari pimpinan bunyi itu juga harus bisa menyesuaikan dengan instruksi dari yang disampaikan oleh pengendang dan tidak bisa seenaknya berdiri sendiri. Dengan demikian seni karawitan dapat melatih seorang untuk tidak sombong, melatih kesabaran, dan menumbuhkan sikap kearifan bahwa setiap peran sekecil apapun dalam karawitan membutuhkan kerjasama tiap-tiap pengrawit untuk mengimplementasikan perannya dengan baik supaya suara yang dihasilkan dapat berbunyi dengan rapih. Uniknya dalam seni karawitan, tidak ada konduktornya yang memimpin sehingga keharmonisan dilandaskan pada kesadaran tiap pemain akan peran masing-masing sehingga tiap pengrawit melatih memimpin diri sendiri, memimpin orang lain (pengendang) dan dipimpin (pendukung irama).

sumber: http://www.terrajawa.net/kepribadian_detail.php?artikel_id=46